TIPS DAN INFORMASI KESEHATAN
TIPS DAN INFORMASI KESEHATAN MAMA PINTAR

Mengenal Dan Mengetahui Gejala Karsinoma Endometrium Uterus dan Pengobatanya

· · 0 comments


Karsinoma Endometrium Uterus

Karsinoma endometrium uterus merupakan keganasan pelvis yang paling sering pada wanita. AS dan Kanada memiliki rerata insidensi tertinggi di seluruh dunia, sementara negara berkembang dan Jepang memiliki rerata insidensi 4-5 kali lebih rendah. Data epidemiologis menunjukkan bahwa terdapat dua bentuk kanker endometrium. Bentuk yang pertama berhubungan langsung dengan pajanan estrogen dan merupakan yang paling banyak terjadi di AS. Bentuk yang lainnya tidak berhubungan dengan estrogen dan terjadi di seluruh dunia. Tumor tipe I yang berhubungan dengan estrogen terjadi pada wanita perimenopause yang lebih muda dan memiliki prognosis yang baik. Pada kenyataannya, lesi tipe I berpotensi dapat diecgah melalui pengenalan risiko pada pasien, diagnosis lesi prekursor (hiperplasia endometrium atipikal), dan pengobatan yang sesuai. Tumor tipe II yang tidak berhubungan dengan estrogen terjadi pada wanita pascamenopause yang lebih tua tanpa ada riwayat pajanan estrogen dan memiliki prognosis yang lehih buruk. Perubahan genetik molekular yang terdapat pada karsinoma endometrium tipe I dan tipe II berbeda dan mungkin dapat membantu dalam menjelaskan sifat-sifat klinisnya.

Sel pada saluran Mullerii dapat berdiferensiasi menjadi berbagai jenis jaringan yang sangat bervariasi. Hal ini terlihat dari berbagai subtipe histologis pada kanker endometrium. Mayoritas utama merupakan adenokarsinoma endometrioid. Prognosis pada pasien dengan adenokarsinoma endometrioid sebagian besar ditentukan oleh derajat diferensiasi atau derajat histologisnya (berdiferensiasi baik, sedang, atau buruk). Pada kenyataannya, derajat histologis merupakan faktor prognostik yang tidak bergantung pada stadium saat diagnosis. Subtipe histologis yang lebih jarang antara lain adenokarsinoma musinosa, adenokarsinoma serosa, adenokarsinoma sel jernih, karsinoma sel skuamosa, dan berbagai tumor campuran dan tidak berdiferensiasi yang jarang ditemukan. Untuk semua subtipe selain adenokarsinoma endometrioid, prognosis bergantung pada subtipe secara histologis dibandingkan derajat histologisnya.

Adenokarsinoma endometrioid pertama kali menginvasi stroma jaringan uterus di bawahnya dengan merusak membran basal kelenjar. Tumor ini kemudian menginvasi miometrium dan serviks. Adenokarsinoma endometrioid biasanya menyebar melalui saluran limfatik pelvis dan periaorta dibandingkan secara hematogen. Invasi vaskular biasanya hanya terlihat pada lesi derajat tinggi dan tidak bergantung estrogen.

Terapi kanker endometrium umumnya meliputi pengangkatan uterus, tuba Fallopii, dan ovarium melalui pembedahan. Pasien dengan invasi miometrium yang dalam atau penyebaran di luar uterus dapat diterapi pascaoperasi dengan radiasi, kemoterapi, atau terapi hormonal progestin. Analisis praterapi pada spesimen adenokarsinoma endometrioid terhadap status reseptor estrogen dan progesteron dapat membantu terapi pascaoperasi. Terdapat hubungan antara diferensiasi tumor dan kandungan reseptornya. Tumor yang berdiferensiasi baik biasanya memiliki reseptor estrogen dan progesteron dalam jumlah yang banyak. Karena kandungan reseptor dapat memperkirakan respons terapi progestin, maka pasien dengan tumor yang berdiferensiasi baik mungkin merupakan kandidat yang baik untuk terapi progestin.

Rerata angka ketahanan hidup untuk kanker endometrium relatif baik. Secara keseluruhan, angka ketahanan hidup 5 tahun dan 10 tahun mendekati 70%. Pasien dengan penyakit stadium 1, di mama tumor belum menginvasi lebih dari separuh ketebalan miometrium, memiliki angka ketahanan hidup 5 tahun lebih dari 90%. Dengan tingginya prevalensi ini, kanker endometrium dapat dipertimbangkan menjadi neoplasia dengan morbiditas yang tinggi namun mortalitas yang relatif rendah di negara-negara maju.

Epidemiologi kanker endometrium
Kanker endometrium merupakan penyakit yang banyak terjadi pada wanita pascamenopause. Sekitar 80% kasus yang terdiagnosis terjadi pada wanita berusia 50-75 tahun, dengan puncak insidensi pada wanita berusia 55-70 tahun. Wanita yang memasuki masa menopause memiliki kemungkinan dua kali lipat untuk mengalami kanker endometrium dibandingkan kemungkinan untuk mengalami karsinoma serviks atau ovarium. Insidensi kanker endometrium sangat bervariasi pada berbagai negara. Pola geografis penyakit ini mengikuti pola kanker payudara dan ovarium dengan rerata tertinggi di negara industri. Terdapat pola yang jelas berlawanan dari kanker serviks.

Adanya hubungan antara pajanan estrogen dengan kanker endometrium telah diketahui selama lebih dari 50 tahun. Satu faktor risiko yang paling sering dan paling terbukti untuk adenokarsinoma uterus adalah obesitas. Jaringan adiposa memiliki enzim aromatase yang aktif. Androgen adrenal dengan cepat dikonversi menjadi estrogen di dalam jaringan adiposa pada individu yang obes. Estrogen yang baru disintesis ini juga memiliki bioavailabilitas yang sangat baik karena perubahan metabolik yang berhubungan dengan obesitas menghambat produksi globulin pengikat hormon seks oleh hati. Individu yang obes mungkin mengalami peningkatan drastis pada estrogen bioavailabel yang bersirkulasi dan pajanan ini dapat menyebabkan penumbuhan hiperplastik pada endometrium.

Terdapat hubungan yang dekat antar risiko kanker endometrium, diet tinggi lemak, dan tingginya produksi nasional bruto. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat perkembangan industri dapat mempengaruhi insidensi karsinoma endometrium melalui konsumsi makanan. Diet tinggi lemak juga berhubungan dengan obesitas dan diabetes melitus tipe II. Jumlah dan jenis lemak dalam makanan mempengaruhi metabolisme estrogen. Misalnya, diet yang kaya daging atau lemak dapat meningkatkan reabsorpsi estrogen pada usus besar.

Wanita kulit putih tiga kali lebih sering didiagnosis mengalami kanker endometrium dibandingkan wanita kulit hitam. Sekali lagi, ini jelas berlawanan dengan apa yang terlihat pada kanker serviks.

Hormon steroid dan kanker endometrium Seperti disebutkan di atas, data epidemiologis pada kanker endometrium menunjukkan adanya hubungan yang end antara pajanan estrogen dan perkembangan kanker. Yang menarik, hubungan tersebut hanya dapat disimpulkan pada saat ini. Dasar pemikiran yang menganggap estrogen sebagai faktor etiologis berasal dari tiga sumber: (i) aktivitas biologis estrogen dan progesteron pada endometrium: (ii) data pada hewan dan manusia mengenai pengaruh dietilstilbestrol (DES) terhadap karsinogenesis; dan (iii) hubungan antara kanker endometrium dengan hiperplasia endometrium dalam kaitannya dengan hubungan antara hiperplasia dengan pajanan estrogen yang tidak dihambat dan bcrlangsung lama.

Bukti yang paling kuat untuk sensitivitas endometrium yang tinggi terhadap hormon steroid ovarium adalah perubahan dramatis yang terjadi pada jaringan ini selama siklus menstruasi. Pada siklus wanita normal: endometrium mengubah morfologinya setiap hari. 

Pada fase folikular siklus: estrogen menstimulasi proliferasi epitel yang menutupi kelenjar endometrium dan stroma di bawahnya. Estrogen menginduksi produksi reseptomya sendiri dan reseptor progesteron selama fase ini. Progesteron yang disekresi dengan cepat setelah ovulasi menahan aktivitas proliferasi pada kelenjar-kelenjar dan mengkonversi epitel menjadi keadaan sekretorik. Stroma merespons progesteron dengan angiogenesis dan maturasi fungsional. Jika kehamilan terjadi, perubahan-perubahan ini akan mempersiapkan endometrium untuk implantasi. Dipercaya bahwa efek mitogenik yang poten dari estrogen pada epitel kelenjar endometrium mempercepat tingkat mutasi spontan dari onkogen yang merupakan predisposisi dan/atau gen penekan tumor. Hal ini mengarah pada suatu transformasi neoplastik.

Data pada hewan dan manusia yang dikumpulkan setelah berkembangnya pajanan DES menambah bukti biologis untuk potensi karsinogenik dari estrogen di saluran reproduksi. DES adalah agonis estrogen nonsteroid yang merupakan salah salu estrogen sintetik pertama yang dikembangkan. DES tersebut diberikan kepada lebih dari dua juta wanita pada tahun 1940-1970 sebagai pengobatan terhadap ancaman keguguran spontan (miscarriage). 

Pada tikus. pajanan neonatal terhadap DES menghasilkan kanker endometrium pada 95% binatang saat berusia 18 bulan. Pada wanita, pajanan DES pranatal mengarah pada kelainan struktur saluran reproduksi dan pada adenokarsinoma sel jemih vagina dan serviks. Aktivitas karsinogenik pada DES tampaknya dimediasi sebagian oleh aktivasi reseptor estrogen. Apakah pajanan DES pranatal akan menyebabkan kanker endometrium pada manusia akan ditentukan setelah penelitian kohort pada wanita-wanita ini berlangsung sampai menopause. Mekanisme genetik molekular mengenai bagaimana DES menyebabkan karsinoma sel jernih mungkin sama dengan bagaimana estrogen steam alami menyebabkan kanker endometrium tipe I. Ketidakstabilan genetik pada urutan mikrosatelit telah ditunjukkan pada kedua tumor ini.

Biologi molekular kanker endometrium
Mutasi onkogen K-ras dan ketidakstabilan mikrosatelit merupakan hal yang paling sering terjadi pada tumor tipe I yang berkaitan dengan estrogen. Mutasi pada gen penekan tumor PT53 dan ekspresi yang berlebihan dari onkogen ERBB2 lebih brinyak ditemukan pada tumor tips II yang tidak berkaitan dengan estrogen.

Hiperplasia endometrium
Hiperplasia endometrium menggambarkan suatu spektrum perubahan pada endometrium. Spektrum ini dapat berkisar dari pola-pola gangguan ringan yang hanya memperberat perubahan yang terlihat pada tahap proliferatif akhir siklus menstruasi hingga lesi ‘regular dan hiprekromatik yang sulit dibedakan dengan adenokarsinoma endometrioid. Meskipun demikian, hiperplasia endometrium noninvasif dapat dibagi menjadi dua tipe dasar: hiperplasia dan hiperplasia atipikal. Atipia ditandai oleh pembesaran inti, hiperkromasia, atau ketidakteraturan bentuk inti. Lesi hiperplastik dapat dibagi lagi menjadi beberapa kelompok. 

Hiperplasia sederhana menggambarkan perubahan hiperplastik dengan arsitektur kelenjar yang teratur sementara hiperplasia kompleks memiliki arsitektur kelenjar yang tidak teratur. Dan keempat tipe hiperplasia endometrium – sederhana, atipikal sederhana, dan atipikal kompleks – hanya hiperplasia atipikal kompleks yang memiliki risiko signifikan untuk berlanjut menjadi karsinoma invasif. Progresi dan hiperplasia ini berjalan lambat dan dapat berlangsung selama 5 tahun atau lebih. Sekitar 20% wanita dengan hiperplasia atipikal kompleks akan
berkembang menjadi adenokarsinoma endometrium. Hanya 1-2% dari lesi-lesi hiperplastik lainnya akan berlanjut.

Hiperplasia endometrium memiliki faktor risiko epidentiologis yang sama dengan kanker endometrium. Di antara pasien dengan hiperplasia endometrium atipikal, status pascamenopause berhubungan dengan risiko yang tertinggi untuk berlanjut menjadi adenokarsinoma (33% dalam 10 tahun). Kanker endometrium jarang ditemukan selama periode melahirkan anak. Saat ini terjadi, biasanya disebabkan oleh kelainan klinis yang menyebabkan adanya pajanan estrogen kronis dan tidak dihambat, termasuk sindrom osmium polikistik dan anovulasi kronik. Tumor ovarium yang memproduksi estrogen, seperti tumor sel granulosa-teka, juga berhubungan dengan perkembangan hiperplasia endometrium dan adenokarsinoma pada wanita pramenopause.

Terapi progesteron digunakan untuk menghentikan proliferasi endometrium dan untuk mengubah endometrium menjadi keadaan sekretorik pada pasien hiperplasia endometrium dengan potensi keganasan yang rendah. Terapi dapat diberikan secara siklis atau terus-menerus. Hiperplasia endometrium atipikal diterapi dengan pembedahan (histerektomi) kecuali terdapat kontraindikasi terhadap pembedahan.



Kanker Rahim adalah tumor ganas pada endometrium (lapisan rahim).

Kanker rahim biasanya terjadi setelah masa menopause, paling sering menyerang wanita berusia 50-60 taun.

Kanker bisa menyebar (metastase) secara lokal maupun ke berbagai bagian tubuh (misalnya kanalis servikalis, tuba falopii, ovarium, daerah di sekitar rahim, sistem getah bening atau ke bagian tubuh lainnya melalui pembuluh darah).

PENYEBAB

Penyebabnya yang pasti tidak diketahui, tetapi tampaknya penyakit ini melibatkan peningkatan kadar estrogen.

Salah satu fungsi estrogen yang normal adalah merangsang pembentukan lapisan epitel pada rahim. Sejumlah besar estrogen yang disuntikkan kepada hewan percobaan di laboratorium menyebabkan hiperplasia endometrium dan kanker.

Wanita yang menderita kanker rahim tampaknya memiliki faktor resiko tertentu. (faktor resiko adalah sesuatu yang menyebabkan bertambahnya kemungkinan seseorang untuk menderita suatu penyakit).

Wanita yang memiliki faktor resiko tidak selalu menderita kanker rahim, sebaliknya banyak penderita kanker rahim yang tidak memiliki faktor resiko. Kadang tidak dapat dijelaskan mengapa seorang wanita menderita kanker rahim sedangkan wanita yang lainnya tidak.

Penelitian telah menemukan beberapa faktor resiko pada kanker rahim:

  1. Usia, Kanker uterus terutama menyeranga wanita berusia 50 tahun keatas.
  2. Hiperplasia endometrium
  3. Terapi Sulih Hormon (TSH), TSH digunakan untuk mengatasi gejala-gejala menopause, mencegah osteoporosis dan mengurangi resiko penyakit jantung atau stroke. Wanita yang mengkonsumsi estrogen tanpa progesteron memiliki resiko yang lebih tinggi. Pemakaian estrogen dosis tinggi dan jangka panjang tampaknya mempertinggi resiko ini. Wanita yang mengkonsumsi estrogen dan progesteron memiliki resiko yang lebih rendah karena progesteron melindungi rahim.
  4. Obesitas, Tubuh membuat sebagian estrogen di dalam jaringan lemak sehingga wanita yang gemuk memiliki kadar estrogen yang lebih tinggi. Tingginya kadar estrogen merupakan penyebab meningkatnya resiko kanker rahim pada wanita obes.
  5. Diabetes (kencing manis)
  6. Hipertensi (tekanan darah tinggi)
  7. Tamoksifen, Wanita yang mengkonsumsi tamoksifen untuk mencegah atau mengobati kanker payudara memiliki resiko yang lebih tinggi. Resiko ini tampaknya berhubungan dengan efek tamoksifen yang menyerupai estrogen terhadap rahim. Keuntungan yang diperoleh dari tamoksifen lebih besar daripada resiko terjadinya kanker lain, tetapi setiap wanita memberikan reaksi yang berlainan.
  8. Ras, Kanker rahim lebih sering ditemukan pada wanita kulit putih.
  9. Kanker kolorektal
  10. Menarke (menstruasi pertama) sebelum usia 12 tahun
  11. Menopause setelah usia 52 tahun
  12. Tidak memiliki anak
  13. Kemandulan
  14. Penyakit ovarium polikista
  15. Polip endometrium.

GEJALA

Gejalanya bisa berupa:

    * Perdarahan rahim yang abnormal
    * Siklus menstruasi yang abnormal
    * Perdarahan diantara 2 siklus menstruasi (pada wanita yang masih mengalami menstruasi)
    * Perdarahan vagina atau spotting pada wanita pasca menopause
    * Perdarahan yang sangat lama, berat dan sering (pada wanita yang berusia diatas 40 tahun)
    * Nyeri perut bagian bawah atau kram panggul
    * Keluar cairan putih yang encer atau jernih (pada wanita pasca menopause)
    * Nyeri atau kesulitan dalam berkemih
    * Nyeri ketika melakukan hubungan seksual.

DIAGNOSA

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan berikut:

    * Pemeriksaan panggul
    * Pap smear
    * USG transvagina
    * Biopsi endometrium.

Untuk membantu menentukan stadium atau penyebaran kanker, dilakukan pemeriksaan berikut:

   1. Pemeriksaan darah lengkap
   2. Pemeriksaan air kemih
   3. Rontgen dada
   4. CT scan tulang dan hati
   5. Sigmoidoskopi
   6. Limfangiografi
   7. Kolonoskopi
   8. Sistoskopi.

Staging (Menentukan stadium kanker)

  1. Stadium I : kanker hanya tumbuh di badan rahim
  2. Stadium II : kanker telah menyebar ke leher rahim (serviks
  3. Stadium III : kanker telah menyebar ke luar rahim, tetapi masih di dalam rongga panggul dan belum menyerang kandung kemih maupun rektum. Kelenjar getah bening panggul mungkin mengandung sel-sel kanker.
  4. Stadium IV : kanker telah menyebar ke dalam kandung kemih atau rektum atau kanker telah menyebar ke luar rongga panggul.

PENGOBATAN

Pemilihan pengobatan tergantung kepada ukuran tumor, stadium, pengaruh hormon terhadap pertumbuhan tumor dan kecepatan pertumbuhan tumor serta usia dan keadaan umum penderita.

Metode pengobatan:

1. Pembedahan

Kebanyakan penderita akan menjalani histerektomi (pengangkatan rahim). Kedua tuba falopii dan ovarium juga diangkat (salpingo-ooforektomi bilateral) karena sel-sel tumor bisa menyebar ke ovarium dan sel-sel kanker dorman (tidak aktif) yang mungkin tertinggal kemungkinan akan terangsang oleh estrogen yang dihasilkan oleh ovarium.

Jika ditemukan sel-sel kanker di dalam kelenjar getah bening di sekitar tumor, maka kelenjar getah bening tersebut juga diangkat. Jika sel kanker telah ditemukan di dalam kelenjar getah bening, maka kemungkinan kanker telah menyebar ke bagian tubuh lainnya.

Jika sel kanker belum menyebar ke luar endometrium (lapisan rahim), maka penderita tidak perlu menjalani pengobatan lainnya.

2. Terapi penyinaran (radiasi)

Digunakan sinar berenergi tinggi untuk membunuh sel-sel kanker.

Terapi penyinaran merupakan terapi lokal, hanya menyerang sel-sel kanker di daerah yang disinari.

Pada stadium I, II atau III dilakukan terapi penyinaran dan pembedahan. Penyinaran bisa dilakukan sebelum pembedahan (untuk memperkecil ukuran tumor) atau setelah pembedahan (untuk membunuh sel-sel kanker yang tersisa).

Ada 2 jenis terjapi penyinaran yang digunakan untuk mengobati kanker rahim:

  • Radiasi eksternal : digunakan sebuah mesin radiasi yang besar untuk mengarahkan sinar ke daerah tumor. Penyinaran biasanya dilakukan sebanyak 5 kali/minggu selama beberapa minggu dan penderita tidak perlu dirawat di rumah sakit. Pada radiasi eksternal tidak ada zat radioaktif yang dimasukkan ke dalam tubuh.
  • Radiasi internal : digunakan sebuah selang kecil yang mengandung suatu zat radioaktif, yang dimasukkan melalui vagina dan dibiarkan selama beberapa hari. Selama menjalani radiasi internal, penderita dirawat di rumah sakit.

3. Kemoterapi

Pada terapi hormonal digunakan zat yang mampu mencegah sampainya hormon ke sel kanker dan mencegah pemakaian hormon oleh sel kanker. Hormon bisa menempel pada reseptor hormon dan menyebabkan perubahan di dalam jaringan rahim.

Sebelum dilakukan terapi hormon, penderita menjalani tes reseptor hormon. Jika jaringan memiliki reseptor, maka kemungkinan besar penderita akan memberikan respon terhadap terapi hormonal.

Terapi hormonal merupakan terapi sistemik karena bisa mempengaruhi sel-sel di seluruh tubuh. Pada terapi hormonal biasanya digunakan pil progesteron.

Terapi hormonal dilakukan pada:

    * penderita kanker rahim yang tidak mungkin menjalani pembedahan ataupun terapi penyinaran
    * penderita yang kankernya telah menyebar ke paru-paru atau organ tubuh lainnya
    * penderita yang kanker rahimnya kembali kambuh.

Jika kanker telah menyebar atau tidak memberikan respon terhadap terapi hormonal, maka diberikan obat kemoterapi lain, yaitu siklofosfamid, doksorubisin dan sisplastin.

Efek samping pengobatan kanker

Pengobatan kanker bisa menyebabkan kerusakan pada sel dan jaringan yang sehat, karena itu bisa menimbulkan beberapa efek samping yang tidak diharapkan.

Efek samping tersebut tergantung kepada berbagai faktor, diantaranya jenis dan luasnya pengobatan.

Setelah menjalani histerektomi, penderita biasanya mengalami nyeri dan merasa sangat lelah. Kebanyakan penderita akan kembali menjalani aktivitasnya yang normal dalam waktu 4-8 minggu setelah pembedahan.

Beberapa penderita mengalami mual dan muntah serta gangguan berkemih dan buang air besar.

Wanita yang telah menjalani histerektomi tidak akan mengalami menstruasi dan tidak dapat hamil lagi. Jika ovarium juga diangkat, maka penderita juga mengalami menopause. Hot flashes dan gejala menopause lainnya akibat histerektomi biasanya lebih berat dibandingkan dengan gejala yang timbul karena menopause alami.

Pada beberapa penderita, histerektomi bisa mempengaruhi hubungan seksual. Penderita merasakan kehilangan sehingga mengalami kesulitan dalam melakukan hubungan seksual.

Histerektomi

Histerektomi

Efek samping dari terapi penyinaran sangat tergantung kepada dosis dan bagian tubuh yang disinari.

  1. Biasanya kulit menjadi kering dan merah, rambut di daerah yang disinari mengalami kerontokan, nafsu makan berkurang dan kelelahan yang luar biasa.
  2. Beberapa penderita merasakan gatal-gatal, kekeringan dan perih pada vaginanya.
  3. Penyinaran juga menyebabkan diare atau sering berkemih.
  4. Radiasi juga bisa menyebabkan terjadinya penurunan jumlah sel darah putih.
  5. Wanita yang mengkonsumsi progesteron bisa mengalami peningkatan nafsu makan, penimbunan cairan dan penambahan berat badan. Jika masih mengalami menstruasi, maka siklusnya bisa mengalami perubahan.

PENCEGAHAN

Setiap wanita sebaiknya menjalani pemeriksaan panggul dan Pap smear secara rutin, untuk menemukan tanda-tanda pertumbuhan yang abnormal.

Wanita yang memiliki faktor resiko kanker rahim sebaiknya lebih sering menjalani pemeriksaan panggul, Pap smear dan tes penyaringan (termasuk biopsi endometrium)

0 comments:

Posting Komentar