TIPS DAN INFORMASI KESEHATAN
TIPS DAN INFORMASI KESEHATAN MAMA PINTAR

Dengan IPTEK Membawa Kabar Gembira Datangnya Zaman Keemasan

· · 0 comments

 Datangnya Zaman Keemasan

Dengan mempertimbangkan semua fakta yang ada, terungkap bahwa terdapat suatu pergerakan kuat menuju Islam di banyak negara, dan Islam semakin menjadi pokok bahasan terpenting bagi dunia. Perkembangan ini menunjukkan bahwa dunia sedang bergerak menuju zaman yang sama sekali baru.

Yaitu sebuah zaman yang di dalamnya, insya Allah, Islam akan memperoleh kedudukan penting dan ajaran akhlak Al Quran akan tersebar luas. Penting untuk dipahami, perkembangan yang sangat penting ini telah dikabarkan dalam Al Quran 14 abad yang lalu:

“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai.

Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.” (QS. At Taubah, 9: 32-33)

Tersebarnya akhlak Islami adalah salah satu janji Allah kepada orang-orang yang beriman. Selain ayat-ayat ini, banyak hadits Nabi kita saw menegaskan bahwa ajaran akhlak Al Quran akan meliputi dunia.

Di masa-masa akhir menjelang berakhirnya dunia, umat manusia akan mengalami sebuah masa di mana kezaliman, ketidakadilan, kepalsuan, kecurangan, peperangan, permusuhan, persengketaan, dan kebobrokan akhlak merajalela.

Kemudian akan datang Zaman Keemasan, di mana tuntunan akhlak ini mulai tersebar luas di kalangan manusia bagaikan naiknya gelombang air laut pasang dan pada akhirnya meliputi seluruh dunia. Sejumlah hadits ini, juga ulasan para ulama mengenai hadits tersebut, dipaparkan sebagaimana berikut:

Selama [masa] ini, umatku akan menjalani kehidupan yang berkecukupan dan terbebas dari rasa was-was yang mereka belum pernah mengalami hal seperti itu. [Tanah] akan mengeluarkan panennya dan tidak akan menahan apa pun dan kekayaan di masa itu akan berlimpah. (Sunan Ibnu Majah)

Penghuni langit dan bumi akan ridha. Bumi akan mengeluarkan semua yang tumbuh, dan langit akan menumpahkan hujan dalam jumlah berlimpah. Disebabkan seluruh kebaikan yang akan Allah curahkan kepada penduduk bumi, orang-orang yang masih hidup berharap bahwa mereka yang telah meninggal dunia dapat hidup kembali. (Muhkhtasar Tazkirah Qurtubi, hal. 437)

Bumi akan berubah seperti penampan perak yang menumbuhkan tumbuh-tumbuhan … (Sunan Ibnu Majah)

Bumi akan diliputi oleh kesetaraan dan keadilan sebagaimana sebelumnya yang diliputi oleh penindasan dan kezaliman. (Abu Dawud)

Keadilan akan demikian jaya sampai-sampai semua harta yang dirampas akan dikembalikan kepada pemiliknya; lebih jauh, sesuatu yang menjadi milik orang lain, sekalipun bila terselip di antara gigi-geligi seseorang, akan dikembalikan kepada pemiliknya… Keamanan meliputi seluruh Bumi dan bahkan segelintir perempuan bisa menunaikan haji tanpa diantar laki-laki. (Ibn Hajar al Haitsami: Al Qawlul Mukhtasar fi `Alamatul Mahdi al Muntazar, hal. 23)

Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, Zaman Keemasan akan merupakan suatu masa di mana keadilan, kemakmuran, keberlimpahan, kesejahteraan, rasa aman, perdamaian, dan persaudaraan akan menguasai kehidupan umat manusia, dan merupakan suatu zaman di mana manusia merasakan cinta, pengorbanan diri, lapang dada, kasih sayang, dan kesetiaan.

Dalam hadits-haditsnya, Nabi kita saw mengatakan bahwa masa yang diberkahi ini akan terjadi melalui perantara Imam Mahdi, yang akan datang di Akhir Zaman untuk menyelamatkan dunia dari kekacauan, ketidakadilan, dan kehancuran akhlak. Ia akan memusnahkan paham-paham yang tidak mengenal Tuhan dan menghentikan kezaliman yang merajalela. Selain itu, ia akan menegakkan agama seperti di masa Nabi kita saw, menjadikan tuntunan akhlak Al Quran meliputi umat manusia, dan menegakkan perdamaian dan menebarkan kesejahteraan di seluruh dunia.

Firman Allah dalam QS. 3, Ali Imran : 110, artinya, “Kamu adalah umat

yang paling baik (khaira ummah, umat pilihan), yang dilahirkan untuk kepentingan manusia; menyuruh mengerjakan yang benar dan melarang membuat salah, serta beriman kepada Allah. Sekranya orang-orang keturunan Kitab itu beriman, sesungguhnya itu baik untuk mereka. Sebahagian mereka beriman, tetapi kebanyakannya orang-orang yang jahat”. Dijelaskan bahwa Umat Islam adalah umat

pilihan, terbaik. Bila keturunan Kitab sebelumnya mau menerima dinul Islam , mereka akan lebih baik dari umat ini. Tetapi mereka kufur, dan sebahagian lagi jahat, menolak ajaran Allah SWT. Disinilah terdapat tantangan disamping peluang terhadap umat pilihan (umat Islam) sepanjang masa dalam meniti setiap perubahan zaman.

Khaira ummah yang menjadi identitas umat Islam itu selalu istiqamah (Konsisten) dengan perangai utama. Tetap membawa, menyeru, mengajak umat kepada yang baik, amar makruf. Melarang membuat salah, nahyun ‘anil munkar. Tetap beriman dengan Allah.

Amar makruf, hanya bisa dilaksanakan dengan ilmu pengatahuan. Karena itulah tatkala pertama kali manusia diciptakan kepadanya beberapa perangkatilm u (QS.2:30-35). Dalam mengemban misi mulia,khalifah di permukaan bumi.

Nahyun ‘anil munkar, melarang dari yang salah. Perlu ilmu pengetahuan tentang makruf dan munkar artinya mengerti tentang suruhan berbuat baik dan larangan berbuat salah (QS.3:104,114; QS.5:78-79; QS.9:71,112; QS.22:41; QS.31:17). Amar Makruf Nahi Munkar sangat sesuai dengan martabat manusia.
Patokan makruf (baik, disuruh) dan munkar (salah, terlarang) dipagari
olehhalal (right, benar) danharam (wrong, salah) . Bukan like or dislike
(suka atau tidak). Kerancuan menerapkan benar dan salah dikehidupan

sehari-hari disebab kurangnya ilmu pengetahuan tentang right dan wrong. Selain dari kebiasaan meninggalkan ajaran agama, tidak teguh (tidak istiqamah) menjalankan right dan wrong tersebut.

Bila diteliti bahwa ayat pertama turun adalah (Iqra’, artinya baca)QS.
96, Al ‘Alaq 1-5. Membaca dan menulis, adalah “jendela ilmu pengetahuan”.
Dijelaskan, dengan membaca dan menulis akan mendapatkan ilmu
pengetahuan yang sebelumnya tidak diketahui (‘allamal-insana maa lam
ya’lam). Ilham dan ilmu belum berakhir. Wahyu Allah berfungsi sebagai sinyal

dan dorongan kepada manusia untuk mendalami pemahaman sehingga mampu membaca setiap perubahan zaman dan pergantian masa. Keistimewaan ilmu, menurut wahyu Allah,antara lain ; Yang mengetahui

pengertian ayat-ayat mutasyabihat hanyalah Allah dan orang-orang yang dalam ilmunya(QS.2:7). Orang berilmu mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah(QS .3:18). Diatas orang berilmu, masih ada lagi yang Maha Tahu,
(QS.12:76). Bertanyalah kepada ahli ilmu kalau kamu tidak tahu, (QS.16:43,
dan 21:7). Jangan engkau turut apa-apa yang engkau tidak mempunyai ilmu

Kebangkitan Islam yang sedang dialami dunia saat ini, serta peran Negara Iran dan Turki di era baru merupakan tanda-tanda penting bahwa masa yang dikabarkan dalam Al Quran dan dalam hadits Nabi kita sangatlah dekat. Besar harapan kita bahwa Allah akan memperkenankan kita menyaksikan masa yang penuh berkah ini.

 Kekuatan Iptek

Hampir menjadi pengetahuan umum (common sense) bahwa dasar dari peradaban modern adalah ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Iptek merupakan dasar dan pondasi yang menjadi penyangga bangunan peradaban modern barat sekarang ini. Masa depan suatu bangsa akan banyak ditentukan oleh tingkat penguasaan bangsa itu terhadap Iptek.

Suatu masyarakat atau bangsa tidak akan memiliki keunggulan dan kemampuan daya saing yang tinggi, bila ia tidak mengambil dan mengembangkan Iptek. Bisa dimengerti bila setiap bangsa di muka bumi sekarang ini, berlomba-lomba serta bersaing secara ketat dalam penguasaan dan pengembangan iptek.(2)

Diakui bahwa iptek, disatu sisi telah memberikan “berkah” dan anugrah yang luar biasa bagi kehidupan umat manusia.

Namun di sisi lain, iptek telah mendatangkan “petaka” yang pada gilirannya mengancam nilai-nilai kemanusiaan.

Kemajuan dalam bidang iptek telah menimbulkan perubahan sangat cepat dalam kehidupan uamt manusia. Perubahan ini, selain sangat cepat memiliki daya jangkau yang amat luas.

Hampir tidak ada segi-segi kehidupan yang tidak tersentuh oleh perubahan. Perubahan ini pada kenyataannya telah menimbulkan pergeseran nilai nilai dalam kehidupan umat manusia, termasuk di dalamnya nilai-nilai agama, moral, dan kemanusiaan.(3)

Di Eropa, sejak abad pertengahan, timbul konflik antara ilmu pengetahuan (sains) dan agama (gereja). Dalam konflik ini sains keluar sebagai pemenang, dan sejak itu sains melepaskan diri dari kontrol dan pengaruh agama, serta membangun wilayahnya sendiri secara otonom.(4)

Dalam perkembangannya lebih lanjut, setelah terjadi revolusi industri di Barat, terutama sepanjang abad XVIII dan XIX, sains bahkan menjadi “agama baru” atau “agama palsu”(Pseudo Religion). Dalam kajian teologi modern di Barat, timbul mazhab baru yang dinamakan “saintisme” dalam arti bahwa sains telah menjadi isme, ideologi bahkan agama baru.(5)

Namun sejak pertengahan abad XX, terutama seteleh terjadi penyalahgunaan iptek dalam perang dunia I dan perang dunia II, banyak pihak mulai menyerukan perlunya integrasi ilmu dan agama, iptek dan imtak. Pembicaraan tentang iptek mulai dikaitkan dengan moral dan agama hingga sekarang (ingat kasus kloning misalnya).

Dalam kaitan ini, keterkaitan iptek dengan moral (agama) di harapkan bukan hanya pada aspek penggunaannya saja (aksiologi), tapi juga pada pilihan objek (ontologi) dan metodologi (epistemologi)-nya sekaligus.

Juga disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa pengembangan iptek dalam sistem pendidikan kita tampaknya berjalan sendiri, tanpa dukungan asas iman dan takwa yang kuat, sehingga pengembangan dan kemajuan iptek tidak memiliki nilai tambah dan tidak memberikan manfaat yang cukup berarti bagi kemajuan dan kemaslahatan umat dan bangsa dalam arti yang seluas-luasnya.

Kekhwatiran ini, cukup beralasan, karena sejauh ini sistem pendidikan kita tidak cukup mampu menghasilkan manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt sebagaimana diharapkan.

Berbagai tindak kejahatan sering terjadi dan banyak dilakukan justru oleh orang-orang yang secara akademik sangat terpelajar, bahkan mumpuni. Ini berarti, aspek pendidikan turut menyumbang dan memberikan saham bagi kebangkrutan bangsa yang kita rasakan sekarang. Kenyataan ini menjadi salah satu catatan mengenai raport merah pendidikan nasional kita.

Secara lebih spesifik, integrasi pendidikan imtak dan iptek ini diperlukan karena empat alasan.

Pertama, sebagaimana telah dikemukakan, iptek akan memberikan berkah dan manfaat yang sangat besar bagi kesejahteraan hidup umat manusia bila iptek disertai oleh asas iman dan takwa kepada Allah swt.

Sebaliknya, tanpa asas imtak, iptek bisa disalahgunakan pada tujuan-tujuan yang bersifat destruktif. Iptek dapat mengancam nilai-nilai kemanusiaan. Jika demikian, iptek hanya absah secara metodologis, tetapi batil dan miskin secara maknawi. (6)

Kedua, pada kenyataannya, iptek yang menjadi dasar modernisme, telah menimbulkan pola dan gaya hidup baru yang bersifat sekularistik, materialistik, dan hedonistik, yang sangat berlawanan dengan nilai-nilai budaya dan agama yang dianut oleh bangsa kita. (7)

Ketiga, dalam hidupnya, manusia tidak hanya memerlukan sepotong roti (kebutuhan jasmani), tetapi juga membutuhkan imtak dan nilai-nilai sorgawi (kebutuhan spiritual).

Oleh karena itu, penekanan pada salah satunya, hanya akan menyebabkan kehidupan menjadi pincang dan berat sebelah, dan menyalahi hikmat kebijaksanaan Tuhan yang telah menciptakan manusia dalam kesatuan jiwa raga, lahir dan bathin, dunia dan akhirat. (8)

Keempat, imtak menjadi landasan dan dasar paling kuat yang akan mengantar manusia menggapai kebahagiaan hidup. Tanpa dasar imtak, segala atribut duniawi, seperti harta, pangkat, iptek, dan keturunan, tidak akan mampu alias gagal mengantar manusia meraih kebahagiaan.

Kemajuan dalam semua itu, tanpa iman dan upaya mencari ridha Tuhan, hanya akan mengahsilkan fatamorgana yang tidak menjanjikan apa-apa selain bayangan palsu (Q.S. An-Nur:39).

Maka integrasi imtak dan iptek harus diupayakan dalam format yang tepat sehingga keduanya berjalan seimbang (hand in hand) dan dapat mengantar kita meraih kebaikan dunia (hasanah fi al-Dunya) dan kebaikan akhirat (hasanah fi al-akhirah) seperti do’a yang setiap saat kita panjatkan kepada Tuhan (Q.S. Al-Baqarah :201).

l. Menuju Integrasi Imtak dan Iptek

Untuk membangun sistem pendidikan yang mengintegrasikan pendidikan imtak dan iptek dalam sistem pendidikan nasional kita, kita harus melihat kembali aspek-aspek pendidikan kita, terutama berkaitan dengan empat hal berikut ini, yaitu:

1) Filsafat dan orientasi pendidikan (termasuk di dalamnya filsafat manusia)

2) Tujuan Pendidikan

3) Filsafat ilmu pengetahuan (Epistemologi) dan

4) Pendekatan dan metode pembelajaran.

Dalam filsafat pendidikan konvensional, pendidikan dipahami sebagai proses mengalihkan kebudayaan dari satu generasi ke generasi lain. Filsafat pendidikan semacam ini mengandung banyak kelemahan.

Selain dapat timbul degradasi (penurunan kualitas pendidikan) setiap saat, pendidikan cenderung dipahami sebagai transfer of knowledge semata dengan hanya menyentuh satu aspek saja, aspek kognitif dan kecerdasan intelektual (IQ) semata dengan mengabaikan kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) peserta didik.

Dengan filosofi seperti itu, peserta didik sering diperlakukan sebagai makhluk tidak berkesadaran. Akibatnya, pendidikan tidak berhasil melaksanakan fungsi dasarnya sebagai wahana pemberdayaan manusia dan peningkatan harkat dan martabat manusia dalam arti yang sebenar-benarnya.

Berbicara filsafat pendidikan, mau tidak mau, kita harus membicarakan pula tentang filsafat manusia. Soalnya, proses pendidikan itu dilakukan oleh manusia dan untuk manusia pula.

Jelasnya pendidikan melibatkan manusia baik sebagai subjek maupun objek sekaligus. Tanpa mengenal siapa manusia itu sebenarnya, proses pendidikan, akan selalu menemui kegagalan seperti yang selama ini terjadi.

Manusia, dalam pandangan Islam, adalah puncak dari ciptaan tuhan (Q.S. At-Thiin : 4), mahluk yang dimuliakan oleh Allah dan dilebihkan dibanding mahluk lain (Q.S. Al-Isra : 70), merupakan mahluk yang dipercaya oleh Tuhan sebagai Khalifah di muka bumi (Q.S. Al-Baqarah : 30, Shad :36), manusia dibekali oleh Allah potensi-potensi baik berupa panca indera, akal pikiran (rasio), hati (Qalb), dan sanubari (Q.S. As-Sajadh : 9). Dengan demikian, manusia adalah mahluk rasional dan emosional, makhluk jasmani dan rohani sekaligus.

Bertolak dari filsafat manusia ini, maka pendidikan tidak lain harus dipahami sebagai ikhtiar manusia yang dilakukan secara sadar untuk menumbuhkan potensi-potensi baik yang dimiliki manusia sehingga ia mampu dan sanggup mempertanggung jawabkan eksistensi dan kehadirannya di muka bumi. Dalam perspektif ini, adalah pendidikan manusia seutuhnya, dan harus diarahkan pada pembentukan kesadaran dan kepribadian manusia.

Disinilah, nilai-nilai budaya dan agama, imtak dan akhlaqul al-Karimah, dapat ditanamkan, sehingga pendidikan, selain berisi transfer ilmu, juga bermakna transformasi nilai-nilai budaya dan agama (imtak).

Lalu, apa tujuan pendidikan itu? Dalam pandangan Islam, tujuan pendidikan tidak berbeda dengan tujuan hidup itu sendiri, yaitu beribadah kepada Allah swt (Q.S. Al-Dzariyat: 56). Dengan kata lain, pendidikan harus menciptakan pribadi-pribadi muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt yang dapat mengantar manusia meraih kebahagiaan dalam kehidupan dunia dan akhirat.

Pendidikan Islam berorientasi pada penciptaan ilmuwan (ulama) yang takut bercampur kagum kepada kebesaran Allah swt (Q.S. Fathir : 28), dan berorientasi pada penciptaan intelektual dengan kualifikasi sebagai Ulul Albab yang dapat mengembangkan kualitas pikir dan kualitas dzikir (imtaq dan iptek) sekaligus (Q.S. Ali Imran: 191-193).

Proses integrasi imtak dan iptek, seperti telah disinggung di muka, pada hemat saya, harus pula dilakukan dalam tataran atau ranah metafisika keilmuan, khususnya menyangkut ontologi dan epistemologi ilmu.

Ontologi ilmu menjelaskan apa saja realitas yang dapat diketahui manusia, sedang epiremologi menjelaskan bagaimana manusia memperoleh pengetahuan itu dan dari mana sumbernya.(9)

Dikotomi keilmuan yang terjadi selama ini sesungguhnya bermula dari sini. Untuk itu integrasi imtak dan iptek, harus pula dimulai dari sini. Ini berarti, kita harus membongkar filsafat ilmu sekuler yang selama ini dianut.

Kita harus membangun epistemologi islami yang bersifat integralistik yang menegaskan kesatuan ilmu dan kesatuan imtak dan iptek dilihat dari sumbernya, yaitu Allah swt seperti banyak digagas oleh tokoh-tokoh pendidikan Islam kontemporer semacam Ismail Raji al-Faruqi, Prof. Naquib al Attas, Sayyed Hossein Nasr, dan belakangan Osman Bakar. (10)

Selain pada pada aspek filsafat, orientasi, tujuan, dan epistemologi pendidikan seperti telah diuraikan di atas, integrasi imtak dan iptek itu perlu dilakukan dengan metode pembelajaran yang tepat. Pendidikan imtak pada akhirnya harus berbicara tentang pendidikan agama (Islam) di berbagai sekolah maupun perguruan tinggi.

Untuk mendukung integrasi pendidikan imtak dan iptek dalam sistem pendidikan nasional kita, maka pendidikan agama Islam disemua jenjang pendidikan tersebut harus dilakukan dengan pendekatan yang bersifat holistik, integralistik dan fungsional.

Dengan pendekatan holistik, Islam harus dipahami secara utuh, tidak parsial dan partikularistik.
  
Pendidikan islam dapat mengikuti pola iman, Islam dan Ihsan, atau pola iman, ibadah dan akhlakul karimah, tanpa terpisah satu dengan yang lain, sehingga pendidikan Islam dan kajian Islam tidak hanya melahirkan dan memparkaya pemikiran dan wacana keislaman, tetapi sekaligus melahirkan kualitas moral (akhlaq al karimah) yang menjadi tujuan dari agama itu sendiri.

Pendidikan Islam dengan pendekatan ini harus melahirkan budaya “berilmu amaliah dan beramal ilmiah”. Integrasi ilmu dan amal, imtak dan iptek haruslah menjadi ciri dan sekaligus nilai tambah dari pendidikan islam. (11)

Dengan pendekatan integralistik, pendidikan agama tidak boleh terpisah dan dipisahkan dari pendidikan sains dan teknologi. Pendidikan iptek tidak harus dikeluarkan dari pusat kesadaran keagamaan dan keislaman kita.

Ini berarti, belajar sains tidak berkurang dan lebih rendah nilainya dari belajar agama. Belajar sains merupakan perintah Tuhan (Al-Quran), sama dan tidak berbeda dengan belajar agama itu sendiri. Penghormatan Islam yang selama ini hanya diberikan kepada ulama (pemuka agama) harus pula diberikan kepada kaum ilmuan (Saintis) dan intelektual.

Dengan secara fungsional, pendidikan agama harus berguna bagi kemaslahatan umat dan mampu menjawab tantangan dan pekembangan zaman demi kemuliaan Islam dan kaum muslim.

Dalam perspektif Islam ilmu memang tidak untuk ilmu dan pendidikan tidak untuk pendidikan semata. Pendidikan dan pengembangan ilmu dilakukan untuk kemaslahatan umat manusia yang seluas-luasnya dalam kerangka ibadah kepada Allah swt.

Semetara dari segi metodologi, pendidikan dan pengajaran agama disemua jenjang pendidikan tersebut, tidak cukup dengan metode rasional dengan mengisi otak dan kecerdasan peserta didik demata-mata, sementara jiwa dan spiritualitasnya dibiarkan kosong dan hampa.

Pendidikan agama perlu dilakukan dengan memberikan penekanan pada aspek afektif melalui praktik dan pembiasaan, serta melalui pengalaman langsung dan keteladanan prilaku dan amal sholeh.

Dalam tradisi intelektual Islam klasik, pada saat mana Islam mencapai puncak kejayaannya, aspek pemikiran teoritik (al aql al nazhari) tidak pernah dipisahkan dari aspek pengalaman praksis (al aql al amali).

Pemikiran teoritis bertugas mencari dan menemukan kebenaran, sedangkan pemikiran praksis bertugas mewujudkan kebenaran yang ditemukan itu dalam kehidupan nyata sehingga tugas dan kerja intelektual pada hakekatnya tidak pernah terpisah dari realitas kehidupan umat dan bangsa. Dalam paradigma ini, ilmu dan pengembangan ilmu tidak pernah bebas nilai.

Pengembangan iptek harus diberi nilai rabbani (nilai ketuhanan dan nilai imtak), sejalan dengan semangat wahyu pertama, iqra’ bismi rabbik. Ini berarti pengembangan iptek tidak boleh dilepaskan dari imtak. Pengembangan iptek harus dilakukan untuk kemaslahatan kemanusiaan yang sebesar-besarnya dan dilakukan dalam kerangka ibadah kepada Allah swt.

Dalam perspektif ini, maka pengembangan pendidikan bermajna dakwah dalam arti yang sebenar-benarnya

0 comments:

Posting Komentar