TIPS DAN INFORMASI KESEHATAN
TIPS DAN INFORMASI KESEHATAN MAMA PINTAR

Terapi Herbal Meski Alami, Waspadai Efek Samping dan Aturannya

· · 1 comments

Penyimpangan terhadap salah satu aspek kemungkinan dapat menyebabkan ramuan OT tersebut yang asalnya aman menjadi tidak aman atau efek samping bagi kesehatan. Pada hal jika diperhatikan, seiring perkembangan jaman banyak sekali hal-hal tradisional yang telah bergeser mengalami penyempurnaan agar lebih mudah dikerjakan ulang oleh siapapun.

Misalnya tentang peralatan untuk merebus jamu, dulu masih menggunakan kwali dari tanah liat sekarang sudah beralih ke panci dari aluminium, untuk menumbuk sudah menggunakan alat-alat dari logam dan tidak lagi menggunakan alu dari kayu atau batu, dan lain sebagainya.

Disamping itu perlu disadari pula bahwa memang ada bahan ramuan OT yang baru diketahui berbahaya, setelah melewati beragam penelitian, demikian juga adanya ramuan bahan-bahan yang bersifat keras dan jarang digunakan selain untuk penyakit-penyakit tertentu dengan cara-cara tertentu pula. Secara toksikologi bahan yang berbahaya adalah suatu bahan (baik alami atau sintesis, organik maupun anorganik) yang karena komposisinya dalam keadaan, jumlah, dosis dan bentuk tertentu dapat mempengaruhi fungsi organ tubuh manusia atau hewan sedemikian sehingga mengganggu kesehatan baik sementara, tetap atau sampai menyebabkan kematian.

Suatu bahan yang dalam dosis kecil saja sudah menimbulkan gangguan, akan lebih berbahaya daripada bahan yang baru dapat mengganggu kesehatan dalam dosis besar. Akan tetapi bahan yang aman pada dosis kecil kemungkinan dapat berbahaya atau toksis jika digunakan dalam dosis besar dan atau waktu lama, demikian juga bila tidak tepat cara dan waktu penggunaannya. Jadi tidak benar, bila dikatakan OT/TO itu tidak memiliki efek samping, sekecil apapun efek samping tersebut tetap ada; namun hal itu bisa diminimalkan jika diperoleh informasi yang cukup.

Ada beberapa contoh, antara lain merica (Piperis sp.) pada satu sisi baik untuk diabetes, tetapi merica juga berefek menaikkan tekanan darah; sehingga bagi penderita diabet sekaligus hipertensi dianjurkan tidak memasukkan merica dalam ramuan jamu/OT yang dikonsumsi.

Kencur (Kaempferia galanga) memang bermanfaat menekan batuk, tetapi juga berdampak meningkatkan tekanan darah; sehingga bagi penderita hipertensi sebaik-nya tidak dianjurkan minum beras-kencur. Demikian juga dengan brotowali (Tinospora sp.) yang dinyatakan memiliki efek samping dapat mengganggu kehamilan dan menghambat pertumbuhan plasenta.

Walaupun demikian efek samping TO/OT tentu tidak bisa disamakan dengan efek samping obat modern.

Pada TO terdapat suatu mekanisme yang disebut-sebut sebagai penangkal atau dapat menetralkan efek samping tersebut, yang dikenal dengan SEES (Side Effect Eleminating Subtanted).

Sebagai contoh di dalam kunyit terdapat senyawa yang merugikan tubuh, tetapi di dalam kunyit itu juga ada zat anti untuk menekan dampak negativ tersebut.

Pada perasan air tebu terdapat senyawa Saccharant yang ternyata berfungsi sebagai antidiabetes, maka untuk penderita diabet (kencing manis) bisa mengkonsumsi air perasan tebu, tetapi dilarang minum gula walaupun gula merupakan hasil pemurnian dari tebu.

ada wawasan yang perlu kita perhatikan agar hati-hati dalam menggunakan resep herbal.mari kita perhatikan artikel saya dibawah ini :

Beberapa tahun belakangan ini terapi herbal menjadi alternatif penyembuhan penyakit. Kendati berbahan alami, terapi herbal bukan tanpa efek samping loh.

    Karena ada pengalaman seorang pria penderita diabetes mendadak mengalami impotensi setelah rutin mengkonsumsi buah pare untuk menurunkan gula darahnya. Usut punya usut, ternyata hal itu disebabkan buah pare yang dikonsumsi adalah mentah dan overdosis!

    Endah Lasmadiwati, seorang praktisi herbal di Jakarta, belum lama ini menuturkan kasus "kecelakaan" lain setelah mengkonsumsi buah mahkota dewa dan temu putih yang dijadikan andalan untuk penumpas sel kanker. Selain sakit tenggorokan mendadak, pasien yang bersangkutan justru mengalami perdarahan.

    "Biji mahkota dewa memang tidak boleh dikonsumsi, karena sangat beracun. Selain itu buah mahkota dewa juga temu putih jangan diminum selagi haid, akan memperhebat perdarahan. Khasiatnya memang menumpas sel kanker sekaligus menggerus dinding rahim. Harus hati-hati, ada aturannya, terutama soal dosis," kata pemilik Kebun Tanaman Obat Taman Sringganis, di kota hujan Bogor itu.

    Kasus bengkak wajah setelah minum ramuan jamu, banyak ditulis oleh media massa. Ini disebabkan oleh kenakalan para produsen dengan menambah bahan-bahan kimia aktif. Bengkak mata karena salah kompres dengan teh celup chamomille yang mestinya teh biasa, adalah contoh kurang pengetahuan para pengguna herbal di sini.

    Ginko, herbal yang makin laris untuk memompa daya ingat itu juga tidak aman 100 persen. Terapi herbal itu hanya akan efektif jika penurunan daya ingat disebabkan oleh karena melemahnya aliran darah ke otak. "Kondisi seperti ini bisa diperbaiki dengan konsumsi ginko. Bagaimana jika melemahnya daya ingat disebabkan oleh faktor lain, misalnya ketidakseimbangan hormonal," kata Endah mempertanyakan.

    Hal senada dikemukakan dokter yang juga herbalis dari Jakarta, Anton Budiono. Katanya, herbal memang potensial sebagai obat, karena warisan alam ini akan menjadi pilar terapi masa depan. Namun sayang, kekayaan herbal Indonesia belum semuanya teruji kelayakannya sebagai bahan terapi. Juga, karena herbal belum pernah secara khusus dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan dokter di sini, sehingga masih sulit untuk menstandarisasikannya.

    "Dengan demikian siapa akan menjamin mutunya," katanya.

    Untuk bisa dipakai sebagai bahan terapi, tanaman obat harus lulus melewati penelitian fisk, kimiawi, farmakologis, biologis, uji toksisitas (racun). Hingga kini para dokter masih enggan meresepkan tanaman obat karena masih kurang jelasnya informasi tentang khasiat, cara penggunaan dan efek sampingan bahan tanaman obat. Pekerjaan tersebut di Indonesia saat ini tidak mudah dilakukan mengingat memerlukan biaya riset yang tidak sedikit.

    Sebagai gambaran, ia memaparkan hasil penelitian tanaman obat di Amerika Serikat. Tahapan penelitian untuk menentukan zat aktif satu tanaman saja memerlukan biaya 15-20 juta dollar, dan memerlukan waktu penelitian 12 tahun! Nah, mampukah Indonesia?

    Indonesia sangat tertinggal dalam hal penelitian ilmiah berkaitan dengan obat tradisional, bahkan dibanding negara-negara di Asia lain seperti India, Korea, Jepang. Jadi pemakaian obat tradisional saat ini masih bersifat empiris artinya berdasar dosis dan efek yang didapat dari pengalaman yang sangat bervariasi buat masing-masing orang atau dari daerah ke daerah.

    Meski demikian herbal tidak sepenuhnya aman, karena tanaman obat pun mengandung racun, dan penggunaannya memerlukan berbagai kondisi yang berbeda. Misalnya Echinacea (yang biasa digunakan untuk meningkatkan daya tahan tubuh melawan flu) sebaiknya tidak dikonsumsi mereka yang mempunyai gangguan otoimun, karena akan mempergiat sistem imun yang sudah terlalu aktif.

    "Epedhra dan licorise akan membuat pasien darah tinggi semakin parah. Begitu juga ginko dan jahe, dosis konsumsinya harus diperhatikan terutama bagi pasien-pasien yang sedang mengkonsumsi obat pengencer darah," katanya.

    Ditanyakan lebih bagus mana, herbal segar atau yang sudah dikeringkan? Menurut Anton Budiono, efek herbal segar dan kering sama saja, hanya soal dosis saja, karena yang telah dikeringkan atau diekstrak lebih pekat konsentrasinya. Pengeringan sangat bermanfaat, karena ada herbal tertentu yang tumbuh hanya pada musim tertentu.

    "Untuk kasus akut seperti flu, sebaiknya herbal dikonsumsi dalam bentuk seduhan. Sedangkan kasus kronis, herbal dalam bentuk pil, tablet maupun kapsul. Sirup lebih mudah diberikan kepada anak-anak," katanya.

    Ditambahkan, tinctur bisa diberikan jika pasien bisa menerima alkohol (ada pasien yang menolak alkohol). Dalam pengobatan Cina tradisional arak atau alkohol bersifat menghangatkan dan melancarkan sirkulasi darah sehingga bisa memperkuat efek pengobatan. Lebih-lebih pada kasus penyakit 'yin/dingin' dan gangguan sirkulasi darah.

    Disinggung soal cara menyimpan herbal yang aman, Anton mengatakan, untuk herbal segar dapat disimpan dengan cara membungkusnya rapat dalam tempat yang tertutup rapat lalu dimasukkan lemari es, bisa tahan sampai seminggu.

    Sedangkan herbal kering bisa tahan lebih lama, tetapi efek panas, cahaya, oksigen (udara) tetap berpengaruh. Herbal aromatik seperti chamomile, peppermint dengan bahan aktif yang terikat minyak esensial mudah menguap saat bereaksi dengan oksigen dan panas.

    "Sebaiknya di tempatkan dalam wadah kaca yang tertutup rapat, simpan dalam gelap, kering dan dingin, jauhkan dari panas matahari. Jika penyimpanananya benar, herbal kering (bunga dan daun) bisa tahan sampai setahun, sedang kulit kayu dan akar kering bisa sampai 2 tahun," katanya.

    Liquid extract paling stabil, namun masih juga rusak oleh panas, cahaya dan udara (oksigennya). Jika disimpan dalam wadah yang tertutup selalu rapat, kekuatan liquid bisa bertahan hingga 3 tahun atau lebih.

    Kapsul dan tablet sangat tidak stabil karen selama proses dihancurkan menyebabkan penguraian. Simpan dalam kering, dingin, gelap, jangan lebih dari 3 bulan. Dalam bentuk minyak, sangat peka terhadap panas. Paling baik, dalam lemari es, bisa tahan 6 bulan.

    Seberapa cepat herbal bereaksi ? Menurut Anton, tergantung herbal dan kondisi kesehatan kita/kondisi penyakitnya. Misalnya untuk keadaan akut, (kembung dan mual) dengan minum teh jahe, hasilnya akan terlihat 30 menit hingga sejam. Lain lagi untuk keadaan pengobatan jangka panjang, misal (gangguan keseimbangan hormonal) semacam menopause (dengan mengkonsumsi black cochos) bisa tampak Ihasilnya sekitar 3 bulan.

    "Herbal bekerja dengan cara memberi energi pada organ tubuh, kelenjar, dan menyeimbangkan kondisi tubuh. Ini tentu memerlukan waktu untuk melihat hasilnya," tuturnya.

    Apakah sebaiknya dalam keadaan perut kosong? Tidak ada aturan umum, tetapi biasanya herbal yang bersifat tonik (umumnya berasa manis dan tidak merangsang lambung) diminum sebelum makan agar penyerapannya maksimal, apalagi jika herbal tersebut mahal harganya (misal ginseng).

    Berapa lama herbal boleh diminum ?

    Efektifitas herbal ternyata ada jangka waktunya, bergantung pada kondisi penyakit dan sifat herbal. Kondisi penyakit: jika kasusnya akut seperti diare, flu, maka herbal bisa diminum setiap 3-4 jam sekali dan dihentikan setelah kondisi membaik. Sedangkan pada kasus penyakit kronis, misal jerawat, rematik, hipertensi, kolesterol, biasanya herbal harus diminum dalam waktu yang lebih lama.

    Ditambahkan, waspadai jika belum lebih dari satu jam mengkonsumsi herbal, muncul gejala mual, diare, pusing, berkeringat deras. Hentikan mengkonsumsi herbal dan segera konsultasikan kepada ahli herbal atau dokter. "Mungkin Anda perlu mengingat-ingat, selain herbal yang baru Anda minum, Anda juga sedang mengkonsumsi obat apa saja," katanya menandasakan

1 comments: